Kamis, 14 Mei 2009

KEBENARAN VERSI PRABOWO (POLITIK)

Prabowo merasa "dijebak" saat meletus kerusuhan Mei 1998. Benarkah Wiranto sengaja meninggalkannya di Jakarta? Dua tahun berlalu, sejak terjadinya kerusuhan berdarah bulan Mei 1998. Letjen (purn.) Prabowo Subianto merasa sudah saatnya bicara blak-blakan. Mutasi besar-besaran di tubuh TNI yang digambarkan sejumlah pengamat militer sebagai upaya "de-Wiranto-isasi", mungkin dianggapnya sebagai momen yang tepat untuk menumpahkan uneg-unegnya. Selama ini, ia hanya bersikap defensif menanggapi pemberitaan di berbagai media massa yang dianggapnya terlalu menyudutkan dirinya. Ketika ia merasa harus bicara, pun media yang dipilihnya bukan dari dalam negeri -yang dikhawatirkan tidak independen dari kekuatan politik tertentu- melainkan mingguan berbahasa Inggris, Asiaweek dalam edisi awal Maret ini. Keengganan Prabowo berbicara selama ini, mau tak mau telah menjadikan peristiwa kerusuhan Mei '98 hanya sebagai cerita tentang gagalnya upaya "kudeta militer" oleh Prabowo dan kawan-kawan (sikap diamnya memang bisa dimengerti, sebab ia toh merasa tak ada gunanya membela diri dalam situasi yang takkan menguntungkan dirinya. Beberapa saat sebelum pecahnya kerusuhan Mei, bersama sejumlah perwira muda Kopassus, ia dianggap bertanggungjawab terhadap penculikan dan penyiksaan sejumlah aktifis HAM). Dalam versi yang terlanjur berkembang, Prabowo dianggap sebagai orang yang menggerakkan sejumlah provokator untuk membakar emosi massa, serta dicurigai hendak mengambil alih kekuasaan dari tangan Habibie. Versi yang diungkapkan Prabowo sungguh bertolak belakang. Ia mengungkap sejumlah fakta yang selama ini tidak diperoleh media massa mengenai cerita seputar kerusuhan Mei. Misalnya, ketika pembakaran dan penjarahan sudah mulai terjadi di Jakarta pada 13 Mei 1998, Prabowo yang ketika itu masih menjabat sebagai Pangkostrad mengaku telah menghubungi Panglima ABRI, Wiranto untuk mendapatkan perintah agar bisa mengendalikan keadaan. Bahkan, ia mengusulkan agar pawai kemiliteran di Malang yang dihadiri Wiranto saat itu, dibatalkan saja. "Delapan kali saya menelepon kantornya, delapan kali pula saya mendapat jawaban, the show must go on, pertunjukkan harus dilanjutkan," ungkap Prabowo. Cerita Prabowo selanjutnya berkisar tentang upaya "penyingkiran" dirinya secara sistematis oleh kubu Wiranto. Hal ini bermula dari keluarnya pernyataan pers dari markas angkatan bersenjata, setelah terjadinya kerusuhan, yang mendukung sikap organisasi massa NU -sebelumnya, NU menyatakan supaya Presiden Soeharto mundur dari jabatan. Membaca surat itu, Soeharto meminta Prabowo melacak dari mana asal surat yang tidak ditandatangani itu. Anehnya, tak ada satu pun perwira tinggi mengaku telah membuat surat itu. Meskipun menurut Prabowo, kopi faksimili surat itu diperolehnya dari kantor Kapuspen ABRI, Brigjen A. Wahab Mokodongan. Belakangan, setelah Soeharto mundur, keluarga Cendana menyalahkan Prabowo. Ia dianggap pengkhianat. Pasalnya, banyak laporan sampai ke telinga Soeharto yang mengatakan bahwa Prabowo dan Habibie, beberapa waktu sebelumnya, telah mengadakan pertemuan berkali-kali. Di samping laporan bahwa Prabowo melakukan pertemuan pada 14 Mei dengan Adnan Buyung Nasution dan sejumlah tokoh lain. Hal ini diartikan sebagai upaya terencana untuk menyingkirkan Soeharto. Dengan demikian, segala kesalahan pun ditumpahkan ke mukanya -termasuk pernyataan pers misterius itu. Prabowo mengaku, ia memang sempat bertemu Habibie setelah terjadinya kerusuhan. Namun, menurutnya, konteks pertemuan itu bukanlah untuk merebut kekuasaan, melainkan "untuk membicarakan cara terbaik menenangkan kekerasan." Secara logis, Prabowo merasa tidak mempunyai motif apa pun untuk merebut kekuasaan. "Saya adalah bagian dari rezim Soeharto. Seandainya Soeharto bertahan tiga tahun lagi saja, saya sangat mungkin berpangkat jenderal berbintang empat. Mengapa saya harus menyulut kerusuhan?" tanyanya. Mengenai pertemuan dengan Adnan Buyung Nasutian dan kawan-kawan, baginya sama sekali tidak ada relevansinya dengan kudeta. Pertemuan itu sendiri, bukan ia yang menghendaki, tapi pihak Buyung. Sedangkan pertemuannya "secara baik-baik" dengan Habibie, membuktikan bahwa ia waktu itu tidak hendak "mengepung" dan mengambil-alih kekuasaan seperti yang dituduhkan Habibie padanya. Dari ceritanya, tampak sekali bahwa Prabowo ingin menunjukkan diri sebagai korban yang terperangkap dalam situasi yang merugikan. Pertama, ketika kerusuhan terjadi, Wiranto tidak berada di ibukota. Dengan sendirinya, karena Prabowo dan Sjafrie Sjamsuddin (waktu itu Pangdam Jaya -red.) yang berada di Jakarta, merekalah yang dianggap paling bertanggungjawab atas keamanan. Kedua, meskipun sudah meminta mandat, Wiranto sebagai Panglima tidak berbuat apa-apa. Di sini terkesan pula, Prabowo ingin mengatakan bahwa seharusnya Wiranto yang bertanggungjawab. Memang, sejumlah pertanyaan muncul, mengapa Wiranto bersikeras membawa sejumlah perwira tinggi pada 14 Mei 1998? Siapa yang bertanggungjawab atas pembuatan pernyataan pers militer tentang Soeharto? Lalu, mengapa Panglima TNI membiarkan mahasiswa terus berada di Gedung DPR/MPR sampai Soeharto jatuh? Prabowo tak langsung menjawabnya. "Saya harus adil pada Wiranto. Ia memang menginginkan reformasi, namun ia juga punya ambisi-ambisi politik," ujarnya diplomatis. Prabowo diganti oleh Djohny Lumintang pada 22 Mei 1998, setelah Habibie naik takhta dan Wiranto, sebagai Menhankam/Pangab, berjanji untuk melindungi Soeharto dan keluarganya. "Dosa-dosa" Prabowo semakin dilegitimasi dengan terbentuknya Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk menginvestigasi terjadinya kerusuhan Mei 1998. Dalam laporannya, TPGF menyimpulkan, peristiwa penculikan para aktifis HAM berhubungan erat dengan kerusuhan Mei 1998. Hal yang menurut Prabowo lebih merupakan opini ketimbang fakta. Munir, Ketua Kontras pun mengakui ada perbedaan mendasar antara peristiwa penculikan aktifis dengan kerusuhan Mei. Katanya, peristiwa Mei merupakan gerakan dari elit untuk perubahan politik. Sementara perisitiwa penculikan, merupakan konspirasi untuk mempertahankan sistem yang ada. Mengenai peristiwa penculikan aktifis, Prabowo sama sekali tidak menyangkalnya. Ia mengakuinya. Namun, menurutnya, apa yang dilakukannya itu tidak terlepas dari pengetahuan para atasan. Apa yang dikemukakan oleh Prabowo, bagaimanapun telah memberi perspektif baru dalam melihat kembali tragedi berdarah Mei 1998. Soal apakah ceritanya benar atau tidak, sulit untuk ditentukan. Toh ia bukan orang suci. Wiranto dan Prabowo, masing-masing berbicara atas nama subyektifitas.